Cara Pengusaha Tempe Bertahan Ditengah Tingginya Harga Kedelai

Navis Pengusaha Tempe merk BIMA di Pegandon sedang proses produksi

KENDAL – Dalam Serat Centhini (sebuah manuskrip bersejarah yang dipublikasikan pada abad ke-16) ditemukan kata “tempe” sebagai hidangan jae santen tempe (makanan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan, hal tersebut menunjukkan bahwa makanan tradisional ini sudah dikenal sejak dahulu dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan Surakarta, Proses pembuatan tempe diperkirakan merupakan teknologi pangan tertua yang ada pada masyarakat Jawa.

Tempe sudah lama dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa sebagai salah satu makanan khas tradisional Indonesia dan diproduksi secara turun temurun. Sampai saat ini, produksi tempe sudah menyebar ke seluruh dunia karena kandungan gizinya yang baik untuk kesehatan manusia.

Tempe merupakan makanan yang terbuat dari kacang kedelai atau beberapa bahan lain yang diproses melalui fermentasi menggunakan mikroorganisme kapang Rhizopus sp. atau yang biasa dikenal sebagai starter/ ragi tempe. Kapang Rhizopus sp. ini berperan memecah senyawa kompleks yang ada pada bahan baku sehingga lebih mudah dicerna.

Saat ini Produksi tempe sedikit mengalami kelesuan, harga kedelai yang tinggi menjadi sebuah dilema bagi para pengusaha tempe rumahan atau Home Made yang ada di Kendal. Salah satu pengusaha tempe rumahan adalah Nafis (40) yang beralamat di Gg. Bangun RT.02 RW.04 Desa Penanggulan Kecamatan Pegandon Kendal.

Nafis meneruskan usaha mertuanya yang dulu jualan tempe, tapi kulak dari produsen lain, sejak bulan Juli 2008 Nafis memutuskan memproduksi tempe sendiri dengan menggunakan nama Bima sebagai merk tempenya.

“Alhamdulilah sampai saat ini berjalan dan sudah banyak pelanggan, selain saya setor-setorkan kepenjual, atau warung makan dan penjual olahan tempe, saya juga jual sendiri dipasar Pegandon.” Jelas Nafis

Nafis Senin (26/12/2022) menceritakan bahwa dengan ketidak stabilan harga bahan pokok tempe yaitu kedelai sangat membingungkannya, “Mau naikkan harga takut tidak terjangkau oleh pembeli, tidak naik harga produksi tidak nutup, solusinya paling sedikit mengecilkan ukuran saja biar harga tetap sama dan pembeli tidak keberatan.”

“Saya produksi sekitar 27 sampai 35 Kg kedelai tiap hari, dengan harga jual variatif, dari yang satu blok empat ribu Rupiah, ada yang lima ribu dapat tiga, dan ada yang eceran saya jual dua ribu rupiah tiap irisan.” terang Nafis

“Tempe adalah makanan rakyat semua golongan, yang mana selain makanan asli Indonesia, kandungan gizinya juga bagus untuk tubuh manusia, saya harap Pemerintah lebih memperhatikan pada sektor usaha mikro khususnya produksi rumahan, untuk bisa memberi pinjaman lunak agar kami pengusaha mikro ini bisa lebih berkembang di tengah situasi ekonomi yang tidak sehat akibat terpaan ketidak stabilan bahan produksi dan guncangan ekonomi badai covid-19 tahun-tahun kemarin.” pungkas Nafis.

(Oman)