
Bankom Semarang News, SEMARANG – Tradisi Syawalan mengalami perkembangan dalam hal pelaksanaan kegiatan. Pada awalnya Syawalan adalah acara ziarah dan tahlil di makam KH. Asy’ari yang dilakukan setiap tanggal 8 Syawal. Sebelum tahun 1980 acara khoul dilakukan secara sederhana tanpa adanya campurtangan dari pihak pemerintah setempat, pelaksanaan hanya sebatas warga masyarakat Kaliwungu.
Dalam perkembangannya pada tahun 1980 sampai 2008 diadakan penambahan kegiatan yaitu berupa pengajian, sama’an Al Qur’an dan hataman, kirab kelambu makam KH. Asy’ari. Penambahan kegiatan yang lebih bersifat keagamaan biasanya mulai tanggal 5 Syawal sampai tanggal 8 Syawal.
Syawalan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Syawalan memiliki arti “Acara Maaf-memaafkan” pada hari Lebaran. Sementara, istilah halal bihalal merupakan kata majemuk yang terdiri atas pengulangan kata bahasa Arab halal (baik atau diperbolehkan) yang diapit satu kata peng-hubung ba (Quraish Shihab, 1992).

Menurut Ibnu Djarir (2007), tradisi syawalan dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit, dengan tertib dan teratur melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Tapi Dewasa ini Syawalan sudah dikemas untuk wisata religius dan wisata modern. Seperti di daerah Kaliwungu Kabupaten Kendal, syawalan dirayakan dengan tujuan utama berziarah pada sejumlah makam tokoh penyebar agama Islam.
Dengan perkembangan jaman bagi Pemerintah Daerah dan Dinas Pariwisata Kabupaten Kendal Tradisi Syawalan ini dapat dijadikan aset budaya daerah sekaligus sebagai wisata religi di Kabupaten Kendal. ada macam cerita tentang asal usul Kaliwungu, oleh Thohir dkk terbit sebuah buku Sejarah Kaliwungu 1988, segala aspek dibedah salah satunya tentang sejarah tersebutnya nama Kaliwungu,

Sejarah Kaliwungu Cerita mengenai asal mula suatu tempat kebanyakan tidak memiliki data yang akurat karena berdasarkan cerita tutur dengan ciri khasnya “konon” dan “Alkisah”. Begitu pula dengan asal usul nama Kaliwungu. Menurut cerita tutur munculnya nama Kaliwungu memiliki 3 versi yang berbeda.
Versi pertama, cerita yang berhubungan dengan perjalanan seorang tokoh bernama Sunan Katong bersama pengikutnya. Dalam cerita, Sunan Katong (nama aslinya Betoro Katong) adalah putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit terakhir dari pernikahannya dengan salah satu selir. Betoro Katong masuk Islam dengan bimbingan Ki Pandan Arang dari alas Asem Arang (kini menjadi Semarang). Setelah masuk Islam maka Betoro Katong berganti nama menjadi Sunan Katong, nama pemberian gurunya.
Setelah merasa cukup mempelajari agama Islam, Ki Pandan Arang menyuruh Sunan Katong untuk menyebarkan agama Islam ke arah Barat. Sunan Katong menuruti perintah gurunya, maka pergilah beliau bersama pengikutnya ke daerah Barat Semarang. Ketika Sunan Katong tiba disuatu tempat yang diyakininya daerah yang dimaksud, Sunan Katong merasa kelelahan dan istirahat di bawah pohon ungu (Jw : wungu) di tepi sungai (Jw : kali).Dari sinilah kemudian Sunan Katong menamakan daerah tersebut dengan nama Kaliwungu.

Versi kedua berasal dari darah yang berwarna ungu yang mengalir seperti sungai atau kali. Darah tersebut merupakan darah dari dua pendekar sakti sang sedang berkelahi, salah satu berdarah putih yang menandakan orang baik sedang lainnya berdarah hitam yang berarti orang jahat.
Konon, menurut cerita kedua orang yang berkelahi adalah Sunan Katong dan muridnya, Pangeran atau Empu Pakuwojo. Muncul kesalah pahaman diantara keduanya. Suatu ketika Pakuwojo akan menikahkan putrinya, Surati dengan seorang perjaka bernama Joko Tuwung. Akan tetapi adik Surati, Raminten cemburu dan bermaksud mencintai Joko Tuwung juga.
Demi keadilan maka Pakuwojo juga menjodohkan Raminten dengan perjaka lain. Raminten menolak rencana ayahnya. Pakuwojo Marah dan memukuli Raminten. Raminten kemudian meminta perlindungan pada Sunan Katong. Tak lama berselang Pakuwojo menyusul anaknya ke tempat Sunan Katong dan melihat Raminten sembunyi di belakangnya. Tanpa berpikir panjang, Pakuwojo mengeluarkan keris dan menusukkannya ke perut Sunan Katong. Pakuwojo tidak mengira bahwa yang ditusuknya adalah sang guru, Sunan Katong.
Setelah sadar dan menyesali perbuatannya maka Pakuwojo meminta ampun pada Sunan Katong dan mendekatkan tubuhnya serta bersujud di kaki Sunan Katong. Pada saat itulah Sunan Katong berusaha mencabut keris dari perutnya dan menusukkan ke perut Pakuwojo, keduanya tewas. Darah Sunan Katong yang dikonotasikan berwarna putih bercampur dengan darah Pakuwojo yang berwarna merah kehitam-hitaman menjadi warna ungu (wungu), mengalir seperti sungai (kali). Dari kejadian tersebut maka muncul nama Kaliwungu. Kisah yang kedua ini memiliki hubungan dengan kisah yang pertama sehingga mendapat tempat yang kuat di masyarakat Kaliwungu. (sadur buku Sejarah Kaliwungu Thohir,dkk.1988:13-14).

Versi ketiga ceritanya berbeda jauh dengan pertama dan kedua. Asal usul nama Kaliwungu menurut versi terakhir berlatar belakang sejarah. Cerita berawal dari terjadinya konflik antara Sultan Agung dengan tentara VOC di Batavia. Tentara VOC menyusun siasat untuk mengalahkan pasukan Sultan Agung tetapi berhasil ditumpas oleh tentara kerajaan.
Hal ini membuat Pangeran Mandurorejo kecewa karena ia ingin menjadi raja. Muncul di pikiran Mandurorejo untuk menyusun siasat agar dapat mengalahkan Sultan Agung dan merebut tahta kerajaan. Isu pun muncul dan Sultan Agung mendengarnya dan menganggap Mandurorejo musuh dalam selimut. Maka Sultan Agung membuat Sayembara “Wahai Siapa saja yang dapat mengakhiri nyawanya”.
Mandurorejo terkenal akan kesaktiannya, sehingga tidak sembarang orang mampu mengalahkannya. Mendengar maklumat itu, Pangeran Gribik bangkit dan langsung mencari Mandurorejo. Setelah keduanya bertemu, maka yang terjadi adalah adu kesaktian yang berakhir dengan terbunuhnya Mandurorejo oleh Pangeran Gribik. Mayat Mandurorejo kemudian dibawa oleh Pangeran Gribik untuk dimakamkan di daerah Prawoto, sesuai pesan Sultan Agung. Di tengah perjalanan, Pangeran Gribik kelelahan dan beristirahat di tepi sungai (Jw : kali).
Mayat Mandurorejo diletakkan di pinggir sungai sementara Pangeran Gribik mandi dan berwudhu di sungai tersebut. Konon, pada saat Pangeran Gribik mandi tiba-tiba jasad Mandurorejo bangun (Jw=tangi/wungu). Kejadian tersebut membuat pangeran Gribik menamakan daerah itu Kaliwungu.
Pada waktu Pangeran Gribik meneruskan perjalanan untuk mencari tanah Prawoto, sesuai pesan Sultan, Muncul seorang lelaki tua dari arah selatan. Pangeran Gribik bertanya pada orang tersebut “daerah apakah ini?”. Kemudian orang itu menjawab “proto”. Kata “Proto” ini dipahami oleh Pangeran Gribik merupakan daerah yang selama ini diacari yaitu “Prawoto” sebuah tempat yang dimaksud oleh Sultan Agung untuk memakamkan Pangeran Mandurorejo. Sampai sekarang diyakini oleh masyarakat kaliwungu bahwa Mandurorejo memang dimakamkan di daerah yang disebut Proto. (Thohir,dkk.1988:15-16)

Tradisi Syawalan di Kaliwungu tidak ada yang bisa memastikan tentang kapan tradisi tersebut pertama kali ada karena tradisi ini sudah berlangsung sejak jaman dulu dan masyarakat Kaliwungu mengikuti apa yang dilakukan oleh leluhurnya.
Dalam perkembangannya tradisi Syawalan mengalami perubahan dalam pelaksanaan kegiatan seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Khoul tadinya hanya acara tahlil biasa yang melibatkan kalangan ulama, santri dan masyarakat sekitar yang datang bersama-sama menuju makam dan melakukan tahlil. Terdapat penambahan dalam rangkaian acara yaitu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan. Menurut penuturan KH. Asro’i Thohir hal ini dilakukan untuk menjaga kemurnian
Perayaan Syawalan di Kaliwungu tidak lagi sebatas perayaan khoul Kyai Guru dengan melakukan tahlil di makam KH. Asy’Ari melainkan melebar ke makam kyai-kyai lain serta tokoh-tokoh sejarah seperti Sunan Katong, Pangeran Mandororejo, Pakuwojo bahkan sampai ke kompleks makam bupati Kaliwungu. Selain itu pada era modern Syawalan beralih menjadi sebuah pasar malam. Upacara tradisii ini sekarang tidak lagi milik masyarakat Kaliwungu tetapi sudah menjadi milik umum. (Perkembangan Tradisi Syawalan Di Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal Pada Tahun 1980- 2008 – oleh Eka Fichramawati)
Saat ini Syawalan merupakan tradisi milik seluruh masyarakat muslim tidak Kaliwungu saja tetapi wilayah disekitarnya, hampir seluruh pelosok Kabupaten Kendal dan bahkan kota lain hadir berbaur dalam tradisi tersebut, ada yang memang meluangkan waktu untuk khoul dan tidak sedikit yang hanya menikmati keramaian yang disuguhkan.
editor Oman