Nyadran Tradisi Dan Kearifan Lokal Jelang Ramadhan Yang Masih Terjaga

Tradisi Nyadran di Makan Wot Galeh Sampangan Kec. Gajahmungkur Kota Semarang

Bankom Semarang News, SEMARANG – Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama masyarakat Jawa Tengah dan secara turun temurun menjelang bulan Ramadan. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta sraddha  yang artinya keyakinan dan ada juga dalam bahasa Jawa sadran artinya ruwah atau syakban, sehingga acara Nyadran disebut juga sebagai acara Ruwah.

Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur yang dilakukan bersama-sama masyarakat yang memiliki anggota keluarga yang dimakamkan di makam tersebut.

Tradisi nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu tradisi craddha. Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal, seperti sesaji dan ritual persembahan untuk penghormatan terhadap leluhur. Tradisi nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan do’a selamatan.

Masih adanya Nyadran dilakukan umat islam ini merupakan hasil akulturasi dari budaya Jawa dan Islam. terutama pulau Jawa tidak terlepas dari sejarah Wali Songo tokoh menyebar agama Islam di tanah jawa dengan adaptasi kearifan lokal yang ada, agar masyarakat tidak frontal menentang serta menolak dan bisa menarik masyarakat untuk ikut menganut agama Islam yang disebarkan.

Tradisi serupa juga dilakukan di Makam Wot Galeh yang berada di wilayah Kelurahan Sampangan Kecamatan Gajahmungkur, Minggu (20/3/2021), Menurut H. M. ali Makhsum,SE, ME Tokoh Agama dan Ketua PAC Ansor NU Kecamatan Gajahmungkur Nyadran merupakan bagian dari budaya dan dikemas secara islami, sehingga antara budaya dan islami tersebut tidak ada yang dipertentangkan.

“Nyadran ini kulturasi budaya dan memang merupakan tradisi yang sudah turun temurun dari nenek moyang kita, namun dipadukan dengan nilai-nilai ajaran keislaman, bagaimana kita menghormati ahli kubur kita yang sudah meninggal dunia dengan cara mendo’akan dan ziarah kubur.”terangnya

“Kegiatan rutin tahunan di makam Kelurahan Sampangan ini sudah puluhan generasi berlangsung dan diselenggarakan setiap Ruwah menjelang bulan Ramadhan tiap tahunnya, seluruh keluarga berkumpul untuk mendo’akan, membersihkan dan menaburkan bunga dimakam keluarganya yang sudah meninggal”tambahnya.

Dalam kegiatan nyadran selain mendo’akan seluruh keluarga yang meninggal secara jamak atau bersama, masyarakat datang berbondong-bondong Membawa makanan, jajanan dan bawaan untuk di kumpulkan dan dilakukan do’a bersama di makam Wot Galeh Sampangan.

Setelah do’a dipanjatkan kemudian menyantap bersama dan ada juga yang bertukar makanan, setelah itu warga kembali kerumah masing-masih dan ada sebagian melanjutkan berdo’a dimakam keluarganya. Kegiatan tradisi tersebut menjadikan suasana kekeluargaan dan persaudaran sangat kental terasa.(Oman)