
Weh-wehan atau Ketuwinan (Dok. Wiwik)
Bankom Semarang News, KENDAL – Kaliwungu identik dengan Kota Santri, sebutan tersebut bukan isapan jempol semata , dengan mayoritas masyarakatnya hampir 99 % muslim dan juga adanya puluhan pondok pesantren yang tersebar diKota Kecamatan tersebut.
Kaliwungu berada di barat Kota Semarang dan masuk wilayah Kabupaten Kendal, banyak tradisi dan budaya religius di Kaliwungu. seperti acara menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW atau Maulud Nabi, di Kaliwungu ada acara tradisi sendiri yang tidak bisa ditemukan di daerah lain, konon tradisi tersebut sudah berusia ratusan tahun dan seluruh masyarakat Kaliwungu antusias merayakannya.

Tradisi Weh wehan atau Ketuwinan, tradisi tersebut adalah dimana masyarakat saling berkunjung kepada tetanga ataupun kerabat dan saling memberikan makanan atau bertukar makanan Tradisional berupa sumpil, jajan pasar, dan sebagainya, waktu kegiatan weh-wehan dimulai dari sore setelah sholat asyar sampai menjelang magrib, kemudian malamnya masyarakat memenuhi masjid atau mushola mengikuti mauludan malam terakhir, mauludan diadakan selama 12 hari mulai tanggal 1 sampai Tanggal 12 Robiul Awal bertepatan dengan malam kelahiran Nabi Muhammad.SAW.
Tradisi weh wehan atau ketuwinan hanya dapat dijumpai di Kota Kaliwungu. Istilah weh wehan berasal dari kata weh (Bahasa Jawa) yang artinya memberi, sedangkan istilah ketuwinan berdasar dari kata tuwin atau tilek (Bahasa Jawa). Menurut filosofinya weh wehan atau ketuwinan artinya memberi, berkunjung atau bersilaturohim kepada tetangga, teman, kerabat, atau saudara.
“Masyarakat Kaliwungu Rabu (28/10/2020) setiap tanggal 11 Robiul Awal atau menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW penanggalan Hijriyah menyiapkan berbagai makanan tradisional yang dihidangkan di depan rumah masing-masih. Mereka seakan berjualan. Tetangga yang berkunjung mengantar makanan, akan diganti dengan makanan dari rumah yang dikunjungi.” terang Moh Safiq (45) Warga Sawahjati.
Makanan tradisional yang dihidangkan antara lain Sumpil. Sumpil terbuat dari nasi yang dibungkus oleh daun bambu (seperti ketupat) berbentuk segita. Cara memakannya dicampur dengan sambal kelapa. Tapi sekarang, makanannya sudah tidak hanya sumpil, seiring perkembangan jaman dan mencari hal praktis saat ini aneka jajanan pasar dan makanan siap sajipun tersaji saat weh-wehan.

“Saya pendatang, baru tujuh tahun tinggal di Kaliwungu, perumahan kami tergolong perumahan baru, tapi kami selalu mengikuti tradisi Ketuwinan atau Weh-Wehan ini, kami sangat senang, seluruh warga perumahan disini juga ikut merayakan, selain berbagi, kita juga menjadi lebih dekat dan akrab dengan tetangga kita.” Terang Wiwik (26) Rabu (28/10/2020) ibu muda yang tinggal di Bukit Indah Kaliwungu 2.
Moh Safiq (45) yang merupakan asli Kaliwungu ini menerangkan kalau tradisi weh wehan atau ketuwinan sudah ada sejak dia kecil. “weh wehan sudah berlangsung ratusan tahun lalu. Tradisi itu dilakukan oleh para ulama penyebar agama Islam di Kaliwungu dan sekitarnya, dengan tujuan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW”.
“Selain tradisi weh-wehan, ada juga lampu teng-tengan. Teng-tengan adalah semacam lampu lampion, terbuat dari bilah bambu dan kertas warna-warni yang di dalamnya ada lampu dari minyak.” tambah Safiq.

(dok.Ziea Suewandie)
Pada awalnya lampion ini masih terbatas berbentuk pesawat, perahu ataupun bintang dengan kertas warna-warni biasa dijual di seputar pasar sore atau di alun-alun depan masjid Besar Al Mutaqin. Namun seiring berjalannya waktu, kreatifitaspun tumbuh. Lampion tidak lagi menggunakan lampu dari minyak, tapi sudah berganti nyala lampu listrik.
“Lampion biasa dipasang warga di depan rumah masing-masing selama bulan Maulud. tapi saat ini suka yang praktis biasanya teng-tengan diganti dengan lampu hias listrik warna-warni,” ucap Muslikhan (42). (oman)