Bankom Semarang News, SEMARANG – Stunting atau kondisi gagal tumbuh pada balita, terjadi tidak hanya dipengaruhi oleh persoalan kurang gizi. Faktor lingkungan dan pola hidup masyarakat, juga ikut menyumbang angka stunting.
Persoalan tersebut dibahas dalam Rapat Percepatan Penurunan Stunting yang dipimpin Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, Kamis (18/8/2022) di Kantor Gubernur. Salah satu bukti bahwa kondisi lingkungan dan pola hidup masyarakat berhubungan dengan stunting adalah adanya penurunan angka stunting yang signifikan di Kabupaten Grobogan.
Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Grobogan pada 2019 sebesar 29,13 persen. Di tahun 2021, turun hingga di angka 9,6 persen. Turunnya angka stunting itu dipengaruhi keberhasilan menurunkan praktek buang air besar sembarangan. Maka dari itu, upaya percepatan penurunan angka stunting di Jawa Tengah, kini dilakukan secara terintegrasi.
“Yang awalnya (penanganan) kita masih lewat Dinkes, belum terintegrasi dengan beberapa dinas, saat ini kita integrasikan. Salah satunya adalah penurunan angka stunting lewat kategori spesifik dan non spesifik. Yaitu dari penurunan seperti gizi buruk, cakupan makanan atau konsumsi, gizi dan sebagainya, ditambah dengan kebiasaan di suatu daerah. Seperti BAB sembarangan, rumah yang tidak layak huni, jambanisasi dan seterusnya, ini kita intervensi juga, ternyata dengan itu, bahkan lebih menurunkan angka stunting,” jelasnya.
Pada program 1 OPD 1 Desa Binaan nantinya, kata Wagub, bisa ditambahkan kegiatan pendataan di posyandu oleh kader kesehatan. Tujuannya apabila terjadi persoalan yang berkaitan dengan potensi terjadinya stunting maupun stunting, bisa segera dilakukan intervensi.
“Kami memiliki satu program lagi, yaitu 1 OPD 1 desa binaan, yang mungkin sampai saat ini terlewatkan, yaitu pendataan stunting yang ada di desa dampingan masing-masing. Nha ini kita harapkan juga dengan pendataan itu, intervensi kita bisa lebih bagus lagi, lebih masif penurunan angka stunting,” tuturnya.
Di samping itu, sejumlah OPD nantinya turut dilibatkan dalam penanganan stunting secara terintegrasi. Seperti DP3AP2KB yang melakukan safari KB, menurunkan unmetneed KB (kebutuhan KB yang belum terpenuhi) dan menurunkan total fertility rate (TFR), Dispermasdukcapil membantu menggerakkan akseptor KB melalui kegiatan non fisik dalam kegiatan TMMD, dan Disperakim membantu terwujudnya Rumah Sederhana Layak Huni (RSLH) terintegrasi yang meliputi rumah, jamban dan air bersih.
Wagub menambahkan, angka stunting di Jawa Tengah sebenarnya sudah menunjukkan penurunan yang tajam. Data dari SSGI 2021, prevalensi stunting di Jawa Tengah, pada 2020 sebesar 27,7 persen. Saat ini sudah berada di angka 20,9 persen. Tetapi apabila persentase itu dikalikan dengan jumlah ibu melahirkan sebanyak rata-rata 551.000 setiap tahun, maka angka stuntingnya masih tinggi.
Maka, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah masih perlu kerja keras menurunkan angka stunting. Ada tiga kabupaten prioritas yang sekarang mendapat pendampingan. Kabupaten itu adalah Brebes dengan prevalensi stunting tahun 2021 sebesar 26,3 persen, Kabupaten Tegal (28 persen) dan Banjarnegara (23,3 persen). (rif)