Bankom Semarang News, SEMARANG – Yaya (bukan nama sebenarnya), wanita 31 tahun Koordinator TPD Dwi Supratiwi saat melakukan konseling terhadap Yaya (foto, dokumentasi) yang tinggal di Kelurahan Muktiharjo Kidul Pedurungan Kota Semarang terpaksa harus berurusan dengan Tim Penjangkaun Dinsos (TPD) Kota Semarang.
Pasalnya, ia tertangkap tengah berjualan koran dengan dua anaknya yang masih kecil. Saat TPD melakukan konseling terhadap dirinya, ia mengaku terpaksa melakukan hal itu lantaran pandemi menghantam perekonomian keluarganya.
“Ibu yang kita jangkau kemarin itu termasuk kategori perempuan rawan sosial ekonomi,” kata Koordinator TPD Kota Semarang, Dwi Supratiwi saat dimintai keterangan media, Sabtu (4/9/2021).
Ia, lanjut Dwi Supratiwi tak bisa tidak untuk ikut banting tulang dengan dua anaknya demi membantu suaminya yang sepi tarikan ojek dan tengah menekuni usaha sambilan secara serabutan. Sebab keluarga mereka tidak tersentuh program pendampingan sosial seperti BPNT dan PKH. “Akhirnya ibu itu dengan anaknya jualan koran di jalan,” ungkap Tiwi, sapaan akrabnya.
Ketua Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Kota Semarang melanjutkan, dirinya mendapati banyaknya masyarakat tentang anak yang meminta-minta atau berjualan di traficligh. Laporan itu, katanya disampaikan melalui nomor Whataps pribadi maupun masuk dalam layanan CC112.
“Anak saya itu dua orang sekolah semua, tiap bulannya harus membayar spp 80 ribu, sedang untuk pendaftaran masuk TK sebesar 800 ribu juga belum bisa membayarnya, dari pemerintah belum ada bantuan untuk sekolah, pernah mendapat sembako 2 kali, pas itu saja, kini tidak lagi,” kata Tiwi menirukan penuturan perempuan tersebut.
Tiwi melanjutkan, dulu mereka tinggal di Wonodri, dekat tanggul Barito yang kemudian terkena gusran dan kini ikut ayah mertuanya di Muktiharjo Kidul. “Sudah hampir tiga bulan lebih ikut mertuanya,” urainya.
Perempuan tersebut pun mengaku terbantu oleh anaknya. Sebab, kata Tiwi yang menangani kasus itu bersama Budhi Santoso, para pembeli koran cenderung memberikan uang lebih karena iba. “Alhamdulillah kita bisa memberikan edukasi, juga menawarkan untuk ikut berjualan bersama komunitas kami,” bebernya.
Untuk diketahui, aktivis Muslimat NU Kota Semarang ini juga aktif di berbagai organisasi sosial. Dari berbagai komunitas tersebut ada banyak produk yang bisa dimanfaatkan oleh perempuan dua anak itu untuk menata kembali perekonomian keluarga di PPKM level 2 ini. “Banyak sih yang kami sampaikan dan tawarkan sebelum kita pulangkan,” ujarnya.
Sementara, Founder Yayasan Anantaka Semarang, Tsaniatus Shalihah mengatakan, terkait kasus yang ditemui oleh TPD, dia memperhatikan hal itu pada angka kemiskinan yang terjadi akibat pandemi Covid-19. “Kenapa dia sampai turun ke jalan yang tadinya tidak. karena kondisi kerjaan sebagai tukang ojeg sepi karena kondisi pandemi akhirnya turun ke jalan,” ucapnya.
Ika sapaan akrabnya menilai faktor tersebut kasus anak bekerja di jalan karena dampak dari orangtuanya atau alasan anak ke jalan adalah faktor ekonomi keluarga. “Mereka yang kehilangan pekerjaan atau mata pencaharian akibat pandemi ini yang harus direspons oleh Pemkot Semarang,” lanjutnya.
Untuk itu, dirinya berharap Pemkot Semarang terus tak berhenti berbenah dalam menyiapkan program penanggulangan kemiskinan, utamanya akibat wabah Covid-19. “Program apa yang harus diluncurkan untuk hal tersebut sehingga dapat mencegah anak turun ke jalan,” tegasnya.
Terpisah, anggota Komisi D DPRD Kota Semarang Lely Purwandari mengatakan, pihaknya bisa mengupayakan pendidikan bagi anak jalanan. “Kalau kaitannya dengan sosial dan pendidikan itu memang tugas kami selaku anggota Komisi D di Kota Semarang,” ujarnya.
Jika anak tersebut niat belajar dengan baik, lanjutnya, maka ada beberapa jalur yang bisa ditempuh untuk membantu meringankan beban pendidikan. “Kerjasama antara dinas sosial dengan dinas pendidikan juga baik, saya rasa ini bisa kita dampingi,” pungkasnya. (Oman/rifky)